Boediono Menyesal Jadi Wapres?
Apa yang dikatakan ini menunjukan bahwa Boediono 'menyesal' menjadi Wakil Presiden. Mungkin kalau waktu bisa dimundurkan, ia tidak mau maju dalam Pilpres 2009 dan lebih memilih menjadi guru saja.
Berita sebelumnya, ada yang menyebutkan dirinya mundur dari jabatan Wakil Presiden. Namun berita itu segera dibantah oleh pihak Istana Wakil Presiden. Menurut Juru Bicara Wakil Presiden, Yopie Hidayat, berita mundurnya Boediono itu adalah kabar bohong.
Dari ungkapan Boediono soal dirinya tidak ada kemauan untuk masuk dalam pemerintahan dan akhirnya terpilih menjadi Wakil Presiden akibat proses tarik-tarikan, menunjukkan bahwa ada keluguan pada diri Boediono dalam berpolitik. Dan karena keluguannya itu dirinya didorong-dorong untuk berpolitik sehingga ketika memasuki dunia yang ganas ini ia menemukan banyak ujian.
Boediono saat di Blitar menceritakan masa kecil yang ia habiskan di kota itu, mulai SD hingga SMU. Selanjutnya ia melanjutkan kuliah di UGM pada tahun 1960, namun di UGM ia sebentar sebab mendapat beasiswa ke Australia. Di Universitas Western ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1967 dan selepas meraih gelar bachelor of economics (Horns) ia kembali ke Jogjakarta untuk menjadi dosen. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash. Pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania.
Dari jejak hidupnya menunjukan bahwa Boediono jauh dari hiruk pikuk dunia politik. Masa-masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, di mana masa itu kaum mahasiswa bergerak sangat masif untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno, dirinya lebih tekun di kampus untuk menyelesaikan studinya.
Meski tidak ikut dalam aksi-aksi pada tahun 1966, namun Boedino menjadi orang yang pandai dan profesional. Kepandaian dirinya dalam ilmu yang digelutinya itu mampu membuat dirinya menjadi pejabat negara, seperti Gubernur Bank Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Boediono mampu menduduki jabatan itu bukan karena dukungan partai politik atau karena ia anggota partai politik tetapi karena keprofesionalan dirinya. Keprofesionalan dirinya membuat dirinya mendapat julukan 'The man to get the job done'.
Keprofesionalan dirinya di satu sisi menunjukan ia dibutuhkan bangsa dan negara. Hal ini seperti yang juga dikatakan oleh dirinya saat di Blitar, "Keinginan saya ingin memberikan terbaik untuk bangsa ini sampai akhir hayat saya."
Namun di sisi yang lain, ketidakpernahan bersentuhan dengan dunia politik dan partai politik membuat dirinya lugu dalam masalah politik dan tidak mendapat dukungan partai politik ketika masalah melanda dirinya. Isu yang beredar tersebut, menyebutkan mundurnya Boediono dikarenakan kasus penyelwengan dana talangan Rp 6,7 triliun pada Bank Century. Kalau Partai Demokrat membela Boediono, itu bukan untuk kepentingan dirinya namun untuk keselamatan SBY.
Boediono menjadi calon wakil presiden, dan akhirnya terpilih, bukan kemauan dari partai politik pendukung SBY, seperti PAN, PPP, PKB, dan PKS, namun kemauan SBY sendiri. Lain halnya bila Boedinono, misalnya didukung oleh salah satu dari partai politik itu. Sehingga SBY-lah yang paling bertanggungjawab terhadap 'penyesalan' dan posisi Boediono.
Dalam sistem perpolitikan di Indonesia ternyata partai politik mempunyai peran yang sangat besar. Dalam masa pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, pemerintahan itu kuat dan solid dan kedap dari goyangan dari luar, bukan hanya karena kepandaian Jusuf Kalla, namun juga dukungan dari Partai Golkar 100%. Apalagi saat itu Partai Golkar pemenang Pemilu Legeslatif 2004 dan mayoritas di DPR. Sehingga ketika SBY-Jusuf Kalla mengeluarkan kebijakan yang tidak populer pun, pemerintahan itu tetap kokoh dan berjalan.
Pun demikian ketika Gus Dur jatuh, karena kemauan koalisi partai politik yang ada di MPR kecuali PKB. Bila partai politik masih berkehendak pada Gus Dur, Gus Dur masih bisa mempertahankan kekuasaannya.
Menghadapi serangan yang sangat dahsyat dari partai politik terkait kasus Bank Century, apa yang seharusnya dilakukan oleh Boediono? Siasatnya Boedino adalah ia harus 'masuk' ke dalam partai politik. Partai politik mana yang dipilih oleh Boediono? Tentu partai politik yang memiliki kekuatan yang signifikans dan bisa menambah kekuatan Partai Demokrat dan SBY. Dari sekian partai politik pendukung SBY yang paling setia adalah PAN dan PKB, jadi Boediono tinggal memilih sisa partai yang ada, PPP atau PKS, kalau Partai Golkar dan PDIP tidak mungkin apalagi Partai Gerindra dan Hanura. Bila Boediono masuk ke dalam partai politik, Kasus Bank Century akan bisa diselesaikan tuntas dengan cara-cara politik.
Apa yang terjadi nasib pada Boediono ini harus menjadi pelajaran bagi para calon Presiden dan wakilnya agar kekuatan pendukungnya tidak dari satu sumber namun banyak sumber. Komposisi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014 ini berasal dari SBY semua. Kekuatan yang ideal adalah seperti pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2004, di mana kekuatan politik terdistribusi secara merata.
Bila kekuatan tidak terdistribusi secara merata, dampaknya adalah pemerintahan lebih sibuk mengurusi masalah politik daripada melakukan pembangunan. Dampak yang paling merugikan apabila pemerintahan jatuh. Dampak lain adalah penyesalan dari pasangan terpilih, seperti yang diungkapkan Boediono saat di Blitar, "Cita-cita saya ingin jadi guru."
*) Ardi Winangun adalah Ketua Forum Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa. Nomor kontak: 08159052503. Email: ardi_winangun@yahoo.com. Penulis tinggal di Matraman, Salemba, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar